Menurut Fraud Triangle yang diperkenalkan oleh Cressey,
sebuah fraud memiliki 3 faktor pendorong, antara lain pressure (dorongan),
opportunity (peluang) dan rationalization (rasionalisasi). Berikut penjelasan
komponen Fraud Triangle:
1. Pressure (dorongan)
Pressure merupakan dorongan untuk berbuat
curang terhadap laporan keuangan dan berbagai unsur yang ada didalamnya baik
asset maupun modal yang ada. Biasanya dorongan ini berupa tekanan yang dihadapi
oleh seorang karyawan terkait dengan pekerjaan yang menumpuk, gaya hidup, dll.
Tekanan ini bisa menjadi pendorong terjadinya fraud.
2. Opportunity (peluang)
Opportunity menjadi faktor terjadinya fraud, hal
ini terjadi karena lemahnya internal kontrol suatu organisasi, kurangnya
pengawasan, dan/atau penyalahgunaan wewenang. Namun hal ini mudah untuk di
minimalisir dengan menerapkan kontrol dan upaya deteksi dini terhadap fraud.
3. Rationalization (pembenaran)
Berbeda dengan pressure dan opportunity,
rationalization ini merupakan pembenaran atas apa yang dilakukan
(rasionalisasi). Pihak yang melakukan fraud merasa bahwa apa yang ia lakukan
benar atas dasar alasan-alasan yang menurutnya logis. Contohnya, masa kerja
pelaku cukup lama dan dia merasa seharusnya berhak mendapatkan lebih dari yang
telah dia dapatkan sekarang (posisi, gaji, promosi, dll).
Fraud Diamond Theory
Setelah teori Fraud Triangle, muncul sebuah teori fraud yang diperkenalkan oleh Wolfe
dan Hermanson, teori yang mereka temukan dikenal dengan Fraud Diamond Theory. Teori ini merupakan penyempurna dari teori Fraud Triangle. Selain tiga faktor yang
disebutkan dalam Fraud Triangle, ada satu
faktor yang ditambahkan yang memungkinkan terjadinya fraud yaitu Capability. Capability merupakan kemampuan pribadi seseorang yang memungkinkan
untuk melakukan sebuah fraud di perusahaan. Capability antara lain kecerdasan, atau bahkan kebiasaan melakukan
kebohongan. Jadi, menurut teori ini, sebuah fraud dapat terjadi jika ada
tekanan, peluang, dan rasionalisasi yang didukung dengan adanya kemampuan untuk
melakukan fraud.
Fraud Pentagon Theory
Teori Fraud Pentagon (Crowe’s
fraud pentagon theory) merupakan teori terbarukan yang mengupas lebih dalam
dan luas dari teori fraud triangle
yang sebelumnya dikemukakan oleh Cressey mengenai faktor pemicu fraud. Teori
ini dikemukakan oleh Crowe Howarth pada tahun 2011. Dalam teori ini Howarth
menambahkan dua elemen fraud lainnya yaitu competence (kompetensi) dan arogansi
(arrogance). Competence (Kompetensi) yang dijelaskan dalam teori fraud pentagon
memiliki definisi yang serupa dengan capability
(kapabilitas) yang sebelumnya dijelaskan dalam teori fraud diamond oleh Wolfe
dan Hermanson. Competence (kompetensi) merupakan kemampuan karyawan untuk
mengabaikan kontrol internal, mengembangkan strategi penyembunyian, dan
mengontrol situasi sosial untuk keuntungan pribadinya. Sedangkan, arogansi
adalah sikap superioritas atas hak yang dimiliki dan merasa bahwa kontrol
internal atau kebijakan perusahaan tidak berlaku untuk dirinya.
Fraud Scale Theory
Teori Fraud Scale dicetuskan oleh Dr.Steve Albrecht. Teori ini mengukur
kemungkinan tindakan penipuan dengan cara mengevaluasi kekuatan tekanan,
kesempatan dan integritas pribadi. Ketika tekanan situasional dan kesempatan
untuk melakukan fraud tinggi namun integritas personal rendah maka kemungkinan
terjadinya fraud akan sangat tinggi. Karena menurut Fraud Scale, kecurangan paling
sering terjadi ketika tekanan pada situasi sangat tinggi, Integritas pribadi yang rendah, dan
adanya kesempatan atau peluang yang tinggi untuk melakukan fraud. Selain itu, Menurut
Albrecht 3 faktor penyebab seseorang melakukan fraud atau kecurangan dilihat
dari karakteristik khusus menurut teori fraud scale, antara lain:
a. Hutang pribadi yang tinggi
b. Hidup di luar kemampuan mereka
c. Keinginan yang besar untuk keuntungan
Menurut
teori ini, faktor resiko terjadinya fraud adalah dikarenakan terlalu besar
dalam menaruh kepercayaan kepada karyawan serta lemahnya pengendalian dari
atasan.
White
Collar Crime Theory
Kejahatan kerah putih (white collar crime) pertama kali didefinisikan oleh Edwin Sutherland pada tahun 1939 sebagai "kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kehormatan dan status sosial yang tinggi di masa pendudukan nya".
Jadi White Collar Crime ini merupakan tindak
kejahatan tanpa kekerasan yang dilakukan pelaku bisnis dan dilakukan di lembaga
pemerintahan, secara struktural yang melibatkan sekelompok orang maupun secara
individu. Menurut Hazel Croall, White
Collar Crime memiliki beberapa kriteria, antara lain:
a. Tidak kasat mata (low visibility)
b. Sulit untuk dideteksi dan dituntut
(weak detection and prosecution)
c. Ketidakjelasan pertanggung-jawaban
pidana (diffusion of responsibility)
d. Aturan hukum yang tidak jelas atau
samar-samar (ambiguous criminal law)
e. Korbannya kurang jelas (diffusions
of victims)
f.
Sangat
kompleks sekali (Complexity)
GONE Theory
GONE Theory menjelaskan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan meliputi Greeds (keserakahan),
Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan).
Keserakahan merupakan perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri
setiap orang. Kesempatan berkaitan dengan keadaan organisasi atau masyarakat
yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan
kecurangan. Kebutuhan berkaitan faktor – faktor yang dibutuhkan oleh individu –
individu untuk menunjang hidupnya yang wajar. Pengungkapan berkaitan dengan
tindakan atau konsekuensi yang akan dihadapi oleh para pelaku kecurangan.
Referensi:
Disusun oleh:
Ilham Anugraha Pramuditya
C1L014033