Monday, April 10, 2017

Teori Fraud

Fraud Triangle Theory

Menurut Fraud Triangle yang diperkenalkan oleh Cressey, sebuah fraud memiliki 3 faktor pendorong, antara lain pressure (dorongan), opportunity (peluang) dan rationalization (rasionalisasi). Berikut penjelasan komponen Fraud Triangle:

      1.  Pressure (dorongan)
          Pressure merupakan dorongan untuk berbuat curang terhadap laporan keuangan dan berbagai unsur yang ada didalamnya baik asset maupun modal yang ada. Biasanya dorongan ini berupa tekanan yang dihadapi oleh seorang karyawan terkait dengan pekerjaan yang menumpuk, gaya hidup, dll. Tekanan ini bisa menjadi pendorong terjadinya fraud.
      2.    Opportunity (peluang)
       Opportunity menjadi faktor terjadinya fraud, hal ini terjadi karena lemahnya internal kontrol suatu organisasi, kurangnya pengawasan, dan/atau penyalahgunaan wewenang. Namun hal ini mudah untuk di minimalisir dengan menerapkan kontrol dan upaya deteksi dini terhadap fraud.
      3.    Rationalization (pembenaran)
    Berbeda dengan pressure dan opportunity, rationalization ini merupakan pembenaran atas apa yang dilakukan (rasionalisasi). Pihak yang melakukan fraud merasa bahwa apa yang ia lakukan benar atas dasar alasan-alasan yang menurutnya logis. Contohnya, masa kerja pelaku cukup lama dan dia merasa seharusnya berhak mendapatkan lebih dari yang telah dia dapatkan sekarang (posisi, gaji, promosi, dll).


      Fraud Diamond Theory

   Setelah teori Fraud Triangle, muncul sebuah teori fraud yang diperkenalkan oleh Wolfe dan Hermanson, teori yang mereka temukan dikenal dengan Fraud Diamond Theory. Teori ini merupakan penyempurna dari teori Fraud Triangle. Selain tiga faktor yang disebutkan dalam Fraud Triangle, ada satu faktor yang ditambahkan yang memungkinkan terjadinya fraud yaitu Capability. Capability merupakan kemampuan pribadi seseorang yang memungkinkan untuk melakukan sebuah fraud di perusahaan. Capability antara lain kecerdasan, atau bahkan kebiasaan melakukan kebohongan. Jadi, menurut teori ini, sebuah fraud dapat terjadi jika ada tekanan, peluang, dan rasionalisasi yang didukung dengan adanya kemampuan untuk melakukan fraud.
      
Fraud Pentagon Theory

   Teori Fraud Pentagon (Crowe’s fraud pentagon theory) merupakan teori terbarukan yang mengupas lebih dalam dan luas dari teori fraud triangle yang sebelumnya dikemukakan oleh Cressey mengenai faktor pemicu fraud. Teori ini dikemukakan oleh Crowe Howarth pada tahun 2011. Dalam teori ini Howarth menambahkan dua elemen fraud lainnya yaitu competence (kompetensi) dan arogansi (arrogance). Competence (Kompetensi) yang dijelaskan dalam teori fraud pentagon memiliki definisi yang serupa dengan capability (kapabilitas) yang sebelumnya dijelaskan dalam teori fraud diamond oleh Wolfe dan Hermanson. Competence (kompetensi) merupakan kemampuan karyawan untuk mengabaikan kontrol internal, mengembangkan strategi penyembunyian, dan mengontrol situasi sosial untuk keuntungan pribadinya. Sedangkan, arogansi adalah sikap superioritas atas hak yang dimiliki dan merasa bahwa kontrol internal atau kebijakan perusahaan tidak berlaku untuk dirinya.

    Fraud Scale Theory

     Teori Fraud Scale dicetuskan oleh Dr.Steve Albrecht. Teori ini mengukur kemungkinan tindakan penipuan dengan cara mengevaluasi kekuatan tekanan, kesempatan dan integritas pribadi. Ketika tekanan situasional dan kesempatan untuk melakukan fraud tinggi namun integritas personal rendah maka kemungkinan terjadinya fraud akan sangat tinggi. Karena menurut Fraud Scale, kecurangan paling sering terjadi ketika tekanan pada situasi sangat  tinggi, Integritas pribadi yang rendah, dan adanya kesempatan atau peluang yang tinggi untuk melakukan fraud. Selain itu, Menurut Albrecht 3 faktor penyebab seseorang melakukan fraud atau kecurangan dilihat dari karakteristik khusus menurut teori fraud scale, antara lain:
a. Hutang pribadi yang tinggi
b. Hidup di luar kemampuan mereka
c. Keinginan yang besar untuk keuntungan
    Menurut teori ini, faktor resiko terjadinya fraud adalah dikarenakan terlalu besar dalam menaruh kepercayaan kepada karyawan serta lemahnya pengendalian dari atasan.

    White Collar Crime Theory

    Kejahatan kerah putih (white collar crime) pertama kali didefinisikan oleh Edwin Sutherland pada tahun 1939 sebagai "kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kehormatan dan status sosial yang tinggi di masa pendudukan nya".

    Jadi White Collar Crime ini merupakan tindak kejahatan tanpa kekerasan yang dilakukan pelaku bisnis dan dilakukan di lembaga pemerintahan, secara struktural yang melibatkan sekelompok orang maupun secara individu. Menurut Hazel Croall, White Collar Crime memiliki beberapa kriteria, antara lain:
          a.       Tidak kasat mata (low visibility)
          b.      Sulit untuk dideteksi dan dituntut (weak detection and prosecution)
          c.       Ketidakjelasan pertanggung-jawaban pidana (diffusion of responsibility)
          d.      Aturan hukum yang tidak jelas atau samar-samar (ambiguous criminal law)
          e.      Korbannya kurang jelas (diffusions of victims)
          f.        Sangat kompleks sekali (Complexity)

      GONE Theory

   GONE Theory menjelaskan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan meliputi Greeds (keserakahan), Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan). Keserakahan merupakan perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang. Kesempatan berkaitan dengan keadaan organisasi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. Kebutuhan berkaitan faktor – faktor yang dibutuhkan oleh individu – individu untuk menunjang hidupnya yang wajar. Pengungkapan berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang akan dihadapi oleh para pelaku kecurangan.



Referensi:

Disusun oleh:
Ilham Anugraha Pramuditya
C1L014033